Pasar bebas tidak bisa dijalankan dengan satu kondisi untuk semua negara. Negara miskin harus punya kebebasan mencampur kebijakan intervensi dengan ekonomi pasar, karena semua itu juga pernah dilalui oleh negara-negara maju sebelum sampai pada taraf seperti saat ini.
Ini bukan seperti beli baju dengan tipe all size, satu ukuran untuk semua orang. Setiap negara memiliki kebebasan untuk memilih jalan politik dan ekonomi. Lagi pula sudah terbukti bahwa 300 tahun sejak kapitalisme mendunia, masalah kemiskinan dan keterbelakangan tidak kunjung selesai.
Pemenang hadiah nobel perdamainan Muhammad Yunus menulis bahwa kapitalisme masih bertahan hingga kini, tapi puluhan tahun setelah komunisme hancur di Uni Soviet, dunia masih dihantui kemiskinan dan keterbelakangan. Perdagangan global meningkat, perusahaan multinasional menyebar ke banyak negara berkembang, tapi ternyata tak semua orang bisa ke luar dari jeratan kemiskinan.
Komunisme hancur, setidak-tidaknya di Uni Soviet, dan yang keluar sebagai pemenang adalah kapitalisme, tapi setengah dari 6 miliar penduduk bumi ini hanya memiliki pendapatan US$ 2 sehari (setara Rp 24 ribu), bahkan satu miliar manusia di muka bumi ini hanya hidup dengan US$ 1 sehari.
Muhammad Yunus bahkan percaya bahwa 94% pendapatan dunia dimilik oleh 40% penduduk super kaya dunia. 60% warga dunia lainnya hanya hidup dengan 6% pendapatan dunia. Ini ketimpangan yang luar biasa.
Sebagian besar warga miskin dunia itu berada di negara-negara di Afrika sub Sahara, Asia dan Amerika Latin. Krisis ekonomi saat ini membuat mereka makin terpuruk, mereka berjuang keras untuk tetap bertahan hidup.
Kenapa semua ini terjadi atau kenapa begitu banyak orang yang tak bisa terangkat dari jurang kemiskinan di saat pasar bebas dan globalisasi justru dielu-elukan sebagai satu-satunya jalan keluar dari masalah keterbelakangan?
Kenapa idiologi pasar bebas atau globalisasi justru memperparah kesenjangan antara negara miskin dan kaya? Kenapa jurang antarwarga kaya dan miskin makin melebar saat fundamentalisme pasar justru diterapkan dengan amat ketat?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah karena pasar bebas atau globalisasi memang bukan senjata pamungkas untuk mengatasi semua masalah sosial yang dihadapi dengan karakter unik di masing-masing masyarakat atau negara.
Masalah akan bertambah rumit jika negara maju memaksakan kehendaknya untuk dijalankan oleh negara terbelakang. Cara-cara mengelola perekonomian suatu negara seharusnya tidak diintervensi oleh negara yang merasa dirinya kuat dari sisi ekonomi dan militer.
Pernyataan Margaret Thatcher mengenai TINA (There Is No Alternative) pada suatu pertemuan di Afrika yang merujuk kepada tidak ada jalan lain yang harus diikuti untuk memakmurkan warga dunia selain neoliberalisme, mungkin sudah harus direvisi.
Tidak saja karena dunia ini penuh dengan banyak pilihan TATA (There Are Thousands of Alternatives), melainkan juga karena interaksi global tanpa syarat dengan minim kebebasan, bukanlah jalan yang baik dalam mewujudkan dunia yang lebih adil.
Pasar bebas atau globalisasi haruslah menjadi sumber kemaslahatan, dan bukan sebaliknya sebagai sumber kesengsaraan di banyak negara lemah seperti saat ini. Idiologi ini harus menyesuaikan diri dengan perubahan dan bukannya statis tanpa mau menerima perbaikan.
Krisis demi krisis yang terjadi berulang-ulang sudah lebih dari cukup untuk menyimpulkan bahwa pasar bebas bukannya tanpa cacat. Idiologi ini mungkin memang belum akan hancur, seperti komunisme di Soviet, tapi jelas sudah tidak memadai lagi untuk memecahkan masalah kemiskinan dan keterbelakangan.
Masalahnya setiap terjadi krisis, masyarakat bawahlah yang paling menderita. Jika begini keadaannya, menurut pendapat sejumlah ahli, harusnya krisis bisa dikategorikan sebagai barang publik karena dampaknya membuat pemerintah harus turun tangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar