Sabtu, 09 Mei 2009

DAMPAK KRISIS GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara- negara yang ada di bumi ini tengah menghadapi suatu krisis keuangan secara global. Diakui ataupun tidak, krisis yang sedang dihadapi hampir semua negara yang ada ini merupakan imbas dari krisis finansial yang terjadi di negara adidaya, Amerika serikat. Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menghenyakan banyak orang. Banyak yang terkejut mengapa negara sebesar Amerika Serikat bisa mengalami krisis ekonomi atau moneter yang merontokan pasar saham dan keuangan di Amerika Serikat dan Bahkan di dunia.

Ada beberapa kasus yang dianggap sebagai penyebab terjadinya krisis AS saat ini, antara lain:

  1. Penumpukan hutang nasional hingga mencapai 8.98 trilyun dollar AS sedangkan PDB hanya 13 trilyun dollar AS
  2. Terdapat progam pengurangan pajak korporasi sebesar 1.35 trilyun dollar (akibatnya pendapatan AS berkurang)
  3. Pembengkakan biaya Perang Irak dan Afganistan (hasilnya Irak tidak aman dan Osama Bin Laden tidak tertangkap juga) setelah membiayai perang Korea dan Vietnam.
  4. CFTC (Commodity Futures Trading Commision) sebuah lembaga pengawas keuangan tidak mengawasi ICE (Inter Continental Exchange) sebuah badan yang melakukan aktifitas perdagangan berjangka.Dimana ECE juga turut berperan mengdongkrak harga minyak hingga lebih dari USD 100/barel.
  5. Subprime Mortgage: Kerugian surat berharga property sehingga membangkrutkan Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock,UBS, Mitsubishi UFJ.
  6. Keputusan suku bunga murah dapat mendorong spekulasi.

Namun dari ke-6 alasan munculnya krisis AS saat ini, penyebab poin ke-5 lah yang dianggap paling berperan. Berikut ini saya sampaikan asal mula krisis Subprime Mortage.

ASAL MULA KRISIS SUBPRIME MORTGAGE DI AMERIKA SERIKAT (AS)

Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama sector laba. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Caranya bagaimana, hal itu merupakan urusan kiat para CEO dan direkturnya.


Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus terus meningkat.


Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.


Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding waktu mereka beli dulu (untung).


Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin menjual saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian banyak.


Mengenai cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik, terserah pada CEO-nya. Mau memakai cara kucing hitam atau cara kucing putih. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan seterusnya.


Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang juga bisa rugi?


Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?


Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti tumbu ketemu tutup. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, buat jalan baru. Kalau membuat jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over.


Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan.


Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang senang. CEO dan para direkturnya senang karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun.


Para pemilik saham juga senang karena kekayaannya terus naik. Pemerintah senang karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi senang karena dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.


Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Kalau tidak bisa membuat sendiri, maka barang tersebut didatangkan dari Tiongkok atau Indonesia atau negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia (USD 2 triliun).


Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan' ' perusahaan seperti itu dilakukan di AS dengan sukses. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.

Tapi, itu belum cukup. Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak cukup lagi, toiletnya harus computerized. Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibuat lebih jumbo.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya. Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa lagi yang akan membeli rumah?

Kalau tidak ada lagi yang membeli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?


Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980, pemerintah membuat keputusan yang disebut ''Deregulasi Kontrol Moneter''. Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan real-estat diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian.


Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan secara nyata.


Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR,meski tidak sama).


Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.


Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage.


Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan bisnis lain yang terkait.


Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka, ada lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni, tahun 1986. Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.


Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau Denmark , gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin.


Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.


Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan Anda belum lunas.


Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.


Hubungan Subprime mortgage dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman Brothers


Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ''para pelaku bisnis keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba.


Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.


Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.


Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras.


Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan. Jalan baru itu adalah bank bisa bekerja sama dengan ''bank jenis lain'' yang disebut investment banking. Sebuah perusahaan keuangan yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal seperti: menerima macam-macam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja:kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah ''personal banking''.


Pada dasarnya investment banking tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow. Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, tapi sekarang yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.


Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.


Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran.


Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.


Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar.


Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang berikutnya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.


Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar.


Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?


Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara Indonesia dijadikan satu.


Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang ''menabung'' - kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang kini sedang dalam kesulitan tersebut.


Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura, Hongkong, atau Tiongkok.


Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun,yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana .


AKTOR- AKTOR YANG BERPERAN DALAM KRISIS FINANSIAL DI AMERIKA SERIKAT

BBC menyebutkan aktor-aktor yang berperan dalam krisis ini antara lain adalah :

Kreditor Perumahan Murah

Banyak perusahaan di AS yang memiliki spesialisasi memberikan kredit perumahan bagi orang-orang yang sebenarnya tidak layak di beri kredit subprime lenders. Para perusahaan tersebut berani memberikan kredit karena kalau terjadi gagal bayar, perusahaan tinggal menyita dan menjual kembali rumah yang dikreditkan.Untuk membiayai kredit ini para perusahaan ini umumnya juga meminjam dari pihak lain dengan jangka waktu kredit yang pendek sekitar 1-2 tahun, padahal kredit yang dibiayai merupakan kredit perumahan jangka panjang sampai 20 tahun. Sehingga terjadi ketimpangan (mismatch) kredit.

Akibat gagal bayar terhadap kredit perumahan tersebut, membuat banyak perusahaan kredit perumahan iini tidak mampu membayar kembali utangnya yang berujung pada bangkrutnya beberapa perusahaan tersebut. Saham perusahaan lain yang tidak mengalami kebangkrutan juga turunt terimbas sentimen negatif dan membuat takut investor.

Selain pinjaman dari pihak ketiga, para perusahaan pembiayaan kredit rumah ini juga menerbitkan semacam efek beragun aset (EBA) yang dijual ke perbankan dan investor baik institusi maupun individu ke berbagai negara. EBA ini juga merupakan instrumen untuk membagi risiko. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kekhawatiran terhadap kemungkinan gagal bayar para debitor yang tidak layak tersebut justru berdampak pada investor secara global baik yang memiliki EBA tersebut maupun investor yang hanya terimbas sentimen negatif.

Perusahaan Pemeringkat

Perusahaan pemeringkat seperti Moody’s dan Standard and Poor’s diduga ikut ambil bagian dalam krisis subprime mortgage ini. Perusahaan - perusahaan pemeringkat ini dinilai terlalu lamban mengantisipasi bahaya gagal bayar utang kredit perumahan itu. Padahal tugas lembaga pemeringkat adalah mengevaluasi obligasi atau instrumen utang lainnya dan memberikan rating yang mencerminkan risiko instrumen utang tersebut.

Investment Banks (Bank Investasi)

Investment Banks seperti Goldmas Sachs, Bear Strearns dan Morgan Stanley juga ikut terlibat dalam terjadi krisis subprime mortgage ini. Karena mereka memiliki spesialisasi mengembangkan instrumen investasi seperti EBA yang dijual ke perbankan dan institusi keuangan. Investment Banks ini juga terkena imbas dan merugi dibeberapa dana investasinya yang terkait dengan utang berisiko tinggi.Sementara bank sentral dan private equity fund dicatat sebagai pihak yang paling besar terimbas dampak krisis ini. Private equity fund adalah manajer investasi yang merancang pembelian dan penjualan perusahaan. Mereka umumnya meminjam uang dengan bunga rendah yang digunakan untuk membeli saham di bursa. Saham yang dibeli umumnya dijaga performanya agar menarik minat investor lain untuk membeli. Saham tersebut akan dijual setelah harganya tingginya dalam waktu yang tidak lama.

Sedangkan bank sentral dunia seperti Bank of England (BoE), US Federal Reserve (The Fed) dan European Central Bank (ECB) sebagai pihak yang merancang tingkat suku bunga demi mengontrol inflasi dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tingkat bunga rendah itulah yang memicu pasar untuk melakukan investasi besar di perumahan. Namun kini bank sentral harus menggelontorkan banyak dana ke pasar untuk menyuplai kebutuhan dana kas yang besar.

DAMPAK KRISIS SUBPRIME MORTGAGE AMERIKA SERIKAT (AS) PADA NEGARA- NEGARA DI DUNIA

Pemilik surat utang Subprime Mortgage bukan hanya perbankan di Amerika Serikat, tapi juga perbankan di Australia, Cina, India, Taiwan, dan negara-negara lainnya. Dampaknya, harga saham perbankan di seluruh dunia jatuh. Hal ini pun menyulut kekhawatiran para pelaku pasar, karena bermasalahnya bank akan berdampak pada melemahnya kegiatan perekonomian.

Peraturan Bank Indonesia tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang berperingkat rendah sehingga perbankan Indonesia tidak memiliki surat utang subprime mortgage. Akan tetapi, karena harga saham perbankan di negara tetangga jatuh, investor asing juga menjual saham perbankan dan nonperbankan di Indonesia. Investor lokal akhirnya juga ikut melakukan aksi jual. Apalagi harga saham dan harga obligasi di Indonesia sudah naik banyak, maka investor pun melakukan aksi ambil untung. Inilah yang menyebabkan harga saham turun, imbal hasil obligasi naik (harga turun) dan kurs rupiah melemah, bahkan minat terhadap penawaran saham BNI juga sempat terganggu.

Sterilnya perbankan dan korporasi Indonesia dari kepemilikan subprime mortgage menyebabkan dampak krisis pada pasar keuangan domestik berupa pelepasan surat berharga domestik terutama SUN dan SBI oleh investor asing. Pada bulan Juli dan Agustus 2007 terjadi penurunan kepemilikan asing pada SUN dan SBI yang cukup signifikan. Investor asing diperkirakan equity friendly dan cenderung mengalihkan penanaman dari SUN pada equity atau risk free treasury bill. Hal ini terkait dengan tingginya supply risk SUN atas potensi penurunan SUN valas akibat kenaikan premi resiko dan peningkatan SUN rupiah. (Neraca Pembayaran Indonesia 2007)

Pada bulan Agustus 2007, harga-harga saham di BEJ (Bursa Efek Jakarta) mengalami koreksi, akibat masih berlanjutnya tekanan di bursa Wall Street dan regional, menyusul meluasnya dampak krisis subprime mortgage di dunia. Banyaknya koreksi mengaibatkan IHSG turun 89,112 poin atau 4,11 % pada satu jam pertama perdagangan tanggal 15 Agustus 2007.

Turunnya IHSG memicu melemahnya nilai tukar rupiah saat itu, dari Rp 9000 menjadi Rp 9400. Dow Jones Industrial Average juga kehilangan 207,61 poin atau turun 1,57 %. Masih dalam periode waktu yang sama, indeks Nikkei mengalami kemerosotan 267,22 poin. Penurunan drastis ini dapat dilihat dalam grafik perkembangan pasar modal di Asia Pasifik dan pasar modal di Barat dan Jepang.

Koreksi besar-besaran yang terjadi akibat krisis subprime mortgage ini juga merambat ke sektor-sektor lainnya. Kepanikan antara Februari – Maret 2007 menyebabkan saham-saham dari sektor mortgage (hipotek) -19%, sektor finansial -10%, dan semua bidang -6%. Kemudian pada Juni-Juli 2007 saham-saham mortgage turun lagi hingga -41%, dan saham-saham keuangan -18%.

Dampak subprime mortgage Amerika Serikat di Indonesia memang sebesar dampaknya pada negara-negara lain, karena adanya peraturan BI yang tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang berperingkat rendah. Namun, sebenarnya dampak krisis finansial ini masih tersisa di dunia.

Pada 3 Maret 2008, tempointeraktif. com menyebutkan bahwa pasar saham Asia jatuh setelah UBS AG memprediksikan bahwa perusahaan keuangan global kemungkinan akan kehilangan sekitar US$ 600 miliar karena kredit macet hipotek perumahan subprime mortgage di Amerika Serikat. Westpac Banking Corp. merugi 3,3 persen sedangkan Macquarie Group Ltd. kembali tergelincir di hari ketiga. Pemasukan uang dalam perdagangan Amerika menurun 4,7 persen dari penutupan saham di Tokyo 29 Februari 2008, dimana Sony Corp. rugi 3,6 persen, setelah Yen menguat terhadap dolar, sehingga mengurangi pendapatan di luar negeri. Index Australia anjlok S&P/ASX 200 hingga 2,9 persen menjadi 5,410.90 pada pukul 10.12 di Sydney. Index New Zealand’s NZX 50, yang menjadi patokan Asia untuk memulai perdagangan, turun 1,1 persen menjadi 3,542.16 di Wellington.


KEBIJAKAN BANK SENTRAL AMERIKA SERIKAT UNTUK MENGATASI KRISIS SUBPRIME MORTGAGE

Krisis Subprime Mortgage yang terjadi di Amerika Serikat menginfeksi bursa saham di seluruh dunia dan mengancam stabilitas banyak mata uang di dunia. Selain USD yang menjadi labil, sejumlah mata uang lain seperti rupiah pun sempat jatuh. Diperlukan intervensi kebijakan dari bank sentral Amerika (The Fed) untuk menstabilkan pasar. Karena The Fed bertanggung jawab menjaga kinerja ekonomi AS jangka panjang dan kestabilan harga-harga di AS.

Untuk mengatasi kekurangan likuiditas di pasar modal, bank sentral negara-negara maju yang bursanya terkait dengan industri subprime mortgage menggelontorkan dana ke pasar uang (open market operations) dengan memasuki transaksi Repo (Repurchase Agreement). Ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar mereka dan menumbuhkan sentimen positif akan bursanya. Diawali pada 9 Agustus 2007, The Fed mengeluarkan USD 30 miliar untuk menjaga likuiditas investor subprime mortgage yang merugi. Pada 10 Agustus, The Fed menambahnya USD 36 miliar. Penambahan ini terus berlangsung hingga 16 Agustus 2007, dan mencapai jumlah USD 29 miliar.

Untuk memulihkan stabilitas, The Fed juga menyuntikkan dana ke sistem perbankan dan keuangannya. Pada 9-10 Agustus, The Fed menyuntikkan USD 24 dan 68 miliar. Di Eropa, pada 10 Agustus 2007 The European Central Bank (ECB) menyuntikkan dana USD 61 miliar. Pada 13 Agustus, ECB menambah lagi USD 47,67 miliar, dan di Jepang, The Bank of Japan (BoJ) menyuntikkan dana 600 miliar Yen.

Selain itu, mengingat pemicu utama kredit macet subprime mortgage adalah bunga yang tinggi, maka pada 17 Agustus 2007 The Fed menurunkan suku bunga diskonto hingga 50 basis poin menjadi 5,75%. Langkah ini lalu diikuti penyesuaian praktek discount window biasa untuk memfasilitasi persyaratan terkait periode pemberian pinjaman selama 30 hari yang dapat diperbarui oleh nasabah peminjam.

Dengan diturunkannya suku bunga, maka akan ada kelonggaran bagi peminjam subrime mortgage untuk melunasi utangnya kepada pemberi pinjaman. Itu juga berarti, surat utang berbasis subprime mortgage yang kini banyak dipegang investor seluruh dunia kembali memperoleh jaminannya dan kembali bernilai.

Langkah ini mampu menahan kejatuhan banyak bursa saham di Dunia. Bagi bursa saham Indonesia, kebijakan The Fed ini juga bermanfaat untuk memulihkan sentimen positif. Karena, setelah merebaknya krisis subprime mortgage, para pelaku pasar mulai mengkhawatirkan risiko berinvestasi di negara berimbal hasil tinggi khususnya di negara berkembang.

Inilah yang dulu menyebabkan pelaku pasar menarik investasinya, baik yang berupa saham maupun valas dari negara-negara berkembang. Dengan diturunkannya suku bunga The Fed, maka Indeks Dow Jones kembali stabil dan pasar mulai tenang. Selain itu, langkah ini pun diikuti intervensi dari pemerintah-pemerint ah negara seluruh dunia.

Akan tetapi risiko masih ada. Para analis pasar merasa tetap perlu melihat kinerja perusahaan-perusahaan sekuritas dan bank investasi yang terkait dengan subprime mortgage. Itulah sebabnya, pada 6 September 2008, pasar saham kembali jatuh. Karena ternyata imbasnya terhadap perusahaan-perusahaan keuangan sedemikian besar. Vice President Head of Management Fund Trimegah Securities, Fajar Hidayat, menyebut subprime mortgage ini sebagai kanker yang tidak diketahui kapan akan berhenti dan sejauh mana reaksi yang ditimbulkannya.

DAMPAK KRISIS AMERIKA SERIKAT TERHADAP EKONOMI BERBAGAI NEGARA

Krisis ekonomi Amerika Serikat (AS) sangat berdampak terhadap masyarakat khususnya tenaga kerja. Departemen Tenaga Kerja AS baru saja mengumumkan jumlah pengangguran mencapai 6,1 persen jauh lebih tinggi dari prediksi yang diakibatkan krisis AS. Jumlah ini meningkat menyusul Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ribuan tenaga kerja akibat krisis ekonomi.

Perubahan tingkat strategi kebijakan DPR AS terhadap paket kebijakan penyelamatan ekonomi atau RUU Bailout dengan dana sebesar US$ 700 miliar ternyata belum mendongkrak kepercayaan pasar. Fase persetujuan DPR atas RUU Bailout, harga saham- saham di pasar New York justru melemah, pasar belum yakin RUU Bailout mampu mencegah terjadinya krisis.

Kalangan investor masih meragukan resolusi RUU Bailout bisa menggairahkan industri keuangan dan visa kredit. Reaksi negatif muncul umumnya disebabkan meningkatnya angka pengangguran.

Sebelumnya DPR AS sempat menolak RUU yang sama dengan alasan pasar uang yang harus menyelesaikan krisis financial ini. Gagalnya RUU Bailout di tangan DPR AS mengakibatkan Indeks Dow Jones mengalami penurunan 777 poin, penurunan ini menurut data pasar uang AS adalah penurunan terbesar dalam waktu 1 hari, untuk itulah Presiden Bush langsung menenangkan pasar dengan menekankan bahwa pintu penyelamatan ekonomi AS tertutup.

Hingga akhirnya DPR AS menyetujui RUU Bailout tersebut. Senator Barack Obama yang kini menjadi calon presiden dari Partai Demokrat adalah salah satu senator yang menyetujui RUU tersebut. Persetujuan Senat tersebut disertai beberapa perubahan mencapai kelonggaran pada gaji perorangan dan usaha kecil serta menaikkan batas tabungan masyarakat yang dijamin pemerintah dari 100 ribu dolar menjadi 250 ribu dolar. Dan perubahan ini pun menghasilkan dukungan lintas partai di DPR.

Begitu juga dengan negara Eropa seperti Prancis langsung memompa dana lebih dari 8,5 miliar dolar, dan pemerintah Irlandia juga menempatkan jaminan tanpa batas.

Pengamat Ekonomi Iwan Jaya Agus memperkirakan efek domino kritis financial AS akan lebih terasa dibanding merosotnya ekonomi AS setelah serangan 2001 dan ekonomi Eropa akan lebih rentan terkena imbas. Menurutnya, krisis ekonomi Asia tidak akan separah Eropa karena kredit macetnya tidak sebesar AS maupun Eropa. Jepang misalnya hanya memiliki kredit macet sebesar US$ 8 miliar jauh lebih kecil dibanding AS yang kredit macetnya sebesar US$ 1,3 triliun tahun 2007.

“Kredit macet di negara Asia jauh lebih kecil dari negara Eropa dan AS namun demikian negara Asia belum bisa bernapas lega, karena sejak tahun 1997 yakni sejak krisis Asia, perusahaan keuangan Asia beralih ke tangan AS maupun Eropa sehingga dengan terpuruknya perekonomian AS maka dengan sendirinya perusahaan AS di Asia akan terkena imbasnya.

Pengamat ekonomi Aviliani justru lebih mengingatkan pasar untuk tetap waspada, menyusul kemungkinan perusahaan- perusahaan AS akan melakukan politik banting harga dan hal ini akan menghambat ekspor Indonesia. Untuk itu pemerintah harus melakukan langkah supaya tidak terjadi doble ekonomi dengan penggelembungan.

Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat memperkirakan 2 sampai 3 tahun ke depan AS harus kerja keras untuk mengatasi krisis perekonomiannya. Menurutnya, dunia usaha dan pemerintah Indonesia harus segera mencari pasar alternatif, sehingga produk ekspor tidak terganggu.

“Saya kira kinerja ekspor kita akan terpengaruh, akan menurun meski pun AS bukan tujuan ekspor terbesar tetapi ekspor utama kita seperti tekstil dan garmen, produk-produk pertanian yang menjadi koridor intensif industri padat karya, tentu akan berpengaruh dan harus ditanggulangi dengan cara klasifikasi market,” katanya.

Sementara Ekonom UGM Sri Adiningsih menilai sampai sejauh ini pemerintah Indonesia belum mempunyai langkah strategis untuk mengantisipasi dampak krisis financial AS, padahal jika krisis financial AS tidak segera teratasi maka dampaknya terhadap perekonomian Indonesia bisa lebih buruk dibanding krisis ekonomi tahun 1998.

“Pemerintah Indonesia harus melihat dampaknya yang bisa lebih serius. Saya kuatir, karena pasar keuangan kita yang beberapa tahun terakhir ini banyak didukung oleh dana jangka pendek sementara kita tau bahwa dana jangka pendek internasional menurut pengamatan saya itu di atas US$ 50 miliar sehingga kalau tidak hati-hati terhadap arus balik tentunya dampaknya akan merusak sekali,” kata Sri.

DAMPAK KRISIS AMERIKA SERIKAT TERHADAP EKONOMI INDONESIA

Ada beberapa hal yang bisa dibaca sebagai dampak atas krisis global ini terhadap perekonomian Indonesia. Berikut ini saya paparkan dampak resesi global ini terhadap perekonomian Indonesia.

Melemahnya nilai tukar Rupiah. Nilai tukar Rupiah pada tanggal 10 Oktober sempat menembus Rp 9.860 per USD. Di pasar antarbank, rupiah bahkan sempat menembus Rp 10.000 per USD.

Investor dunia panik parah. Akibatnya bursa saham Indonesia turun sebanyak 41% (sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara mulai Rabu, 8 Oktober 2008 ). Harga saham benar- benar turun drastis.

Krisis perbankan global bisa mempengaruhi sektor riil ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Karena sektor perbankan AS sedang terpuruk, kekurangan modal, dan (melihat banyaknya lembaga keuangan yang bangkrut) enggan meminjamkan dolarnya, termasuk ke bank-bank internasional di Eropa dan Asia. Akibatnya, perbankan internasional kekurangan dolar untuk memberi pinjaman ke para pengusaha dunia, yang membutuhkan dolar untuk investasinya (untuk impor mesin, bahan baku, dan sebagainya), termasuk di Indonesia.

Dampak resesi ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia tentunya negatif, tetapi karena net-ekspor (ekspor dikurang impor) hanya menggerakkan sekitar 8% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, maka dampaknya relatif kecil dibandingkan dengan negara tetangga yang ketergantungan ekspornya ke AS besar, misalnya Hong Kong, Singapura, dan Malaysia. Pada Negara berjumlah penduduk banyak seperti Indonesia belanja masyarakatnya merupakan motor penggerak ekonomi yang kuat. Untuk ekonomi Indonesia, dampak negatif kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar 125% pada 2005 jelas lebih besar dari pada dampak resesi ekonomi AS.

Krisis finansial global dan lumpuhnya sistem perbankan global yang berlarut akan berdampak sangat negatif terhadap Indonesia, karena pembiayaan kegiatan investasi di Indonesia (baik oleh pengusaha dalam maupun luar negeri) akan terus menciut, penyerapan tenaga kerja melambat dan akibatnya daya beli masyarakat turun-yang akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Dalam situasi seperti ini tentunya yang biasa dilakukan adalah efisiensi. Bisa jadi itu dilakukan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK. Itu sudah menjadi konsekuensi kalau daya saing produk kita terus berkurang sementara biaya produksi meningkat.

LANGKAH- LANGKAH INDONESIA DALAM MENGHADAPI KRISIS GLOBAL

Karena capital inflow melalui pasar modal berkurang, diharapkan bisa terkompensasi dari aliran dana lainnya. Di antaranya, menggenjot ekspor yang mendongkrak neraca perdagangan dan penanaman modal asing langsung (FDI).

Keinginan tersebut akan dipenuhi dengan sejumlah langkah. Langkah konvensional dilakukan dengan memberikan insentif kepada dunia usaha. Di sini, PP No 1/2007 tentang insentif pajak bagi usaha dan daerah tertentu akan diimplementasikan. Paket kebijakan ekonomi lawas melalui Inpres 5/2008 juga terus dijalankan.

Kebijakan nonkonvensional juga dilakukan melalui pemangkasan defisit APBN. Sebab, pembiayaan melalui penerbitan surat utang makin sulit dilakukan. Selain situasi masih tak menentu, likuditas di pasar global akan mengering. Apalagi, setelah pemerintah AS menganggarkan dana program penyelamatan darurat senilai USD 700 miliar (sekitar Rp 6.440 triliun). Selain dari pajak yang dibayar rakyat AS, dana tersebut bakal dicarikan dari penerbitan obligasi di pasar.

Langkah lainnya adalah melaksanakan program jaring pengaman sosial yang tidak konsumtif sehingga mampu menciptakan lapangan kerja.

Upaya lain adalah dengan menjaga stabilitas harga pangan dan energi.

Kredit juga tumbuh cepat di kisaran 36 persen. Pertumbuhan kredit itu diharapkan tetap mendukung laju ekonomi dan inflasi yang wajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar